Papua
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur Papua Bagian Barat (dulu
Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini. Provinsi Papua dulu mencakup
seluruh wilayah Papua Bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua
provinsi dengan bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan
bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas
808.105 km persegi dan merupakan pulau terbesar kedua di dunia dan
terbesar pertama di Indonesia.
Pendahuluan
Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia.
Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara
Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar
daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar
kedua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua
merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New
Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal
sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara
Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk di antara kedua
negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, tapi kemudian dipisahkan oleh
sebuah garis perbatasan.
Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi
dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah
Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus karena terdiri
atas lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari
pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan
Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara
ke selatan.
Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari
daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan
kapal laut. Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan
mengakibatkan mereka berada di luar peradaban Indonesia yang modern, karena
mereka tidak mungkin untuk melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang
lebih jauh.
Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua,
menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal
dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena
kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan
penduduk Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua.
Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, karena
tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang
sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan
kepada kerajaan Tiongkok. Di dalam persembahan itu
terdapat beberapa ekor burung Cenderawasih, yang dipercaya sebagai burung
dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu
dikenal sebagai ‘Janggi’.
Dalam catatan yang tertulis di dalam kitab Nagarakretagama,
Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520).
Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh
pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah
kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada
tahun 1365.
Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut,
hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari
jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada di bawah kontrol
kekuasaan kerajaan Majapahit.
Selama berabad-abad dalam paruh pertama milenium kedua, telah
terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di
Indonesia, yang hubungan tersebut bukan hanya sekadar kontak perdagangan yang
bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari
pulau-pulau terdekat.
Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat
yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan
berbagai keragaman yang terserak di dalam kawasan Papua. Hal ini tentunya
membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para
penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi
mengingat keanekaragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dari
sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 di antara mereka berbicara
dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami antara satu dengan yang
lainnya.
Beragamnya bahasa di antara sedikitnya populasi penduduk
tersebut diakibatkan oleh terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh
perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad karena
kepadatan hutan dan juga jurang yang curam yang sulit untuk dilalui yang
memisahkan mereka. Oleh karena itu, sekarang ini ada 234 bahasa pengantar di
Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara asli. Banyak dari bahasa ini hanya
digunakan oleh 50 penutur atau kurang. Beberapa golongan kecil sudah punah,
seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua pembicara dan Mapia yang hanya
digunakan oleh satu pembicara.
Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa di dalam
melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa
melayu, versi pasar.
Sejarah
Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia
merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greendland di Denmark. Luasnya
capai 890.000 Km² (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya
diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa.
Pada sekitar tahun 200 M , ahli Geography bernama Claudius
Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini
tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios.
Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama Tungki.
Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang
pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah
yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang
China saat itu untuk Papua.
Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut
nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang
dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah
eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam
perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.
Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai
berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk
mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal
China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan juga Samudranta,
yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.
Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama,
yakni Wanin dan Sram. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di
daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak
yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang
membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini
disebut.
Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini
dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi
Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (not
integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian
lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah.
Ada juga yang memakai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap
warga setempat—penduduk primitif, tertinggal, bodoh— yang merupakan slogan yang
tidak mempunyai arti apapun dengan nama Papua.
Respon penduduk terhadap nama Papua cukup baik. Alasannya, sebab
nama tersebut benar mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam,
keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk Melayu juga kerajaan Tidore.
Tapi, tentu mereka tak terima dengan ejekan yang selalu dilontarkan warga
pendatang.
Pada tahun 1511 Antonio d’Arbau, pelaut asal Portugis menyebut
wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau juga llha de Papo. Don Jorge de
Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun
kemudian (1526-1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui
nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran
Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini
diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore.
Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan
armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang
artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil
menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan
Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong
untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.
Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes
memberi nama Nueva Guinee. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya
menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang
berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di
belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva
Guinee/Pulau Guinea Baru.
Nama Papua dan Nueva Guinea dipertahankan hampir dua abad
lamanya, baru kemudian muncul nama Nieuw Guinea dari Belanda, dan kedua nama
tersebut terkenal secara luas diseluruh dunia, terutama pada abad ke-19.
Penduduk nusantara mengenal dengan nama Papua dan sementara nama Nieuw Guinea
mulai terkenal sejak abad ke-16 setelah nama tersebut tampak pada peta dunia
sehingga dipakai oleh dunia luar, terutama di negara-negara Eropa.
Pada tahun 1956, Belanda kembali mengubah nama Papua dari Nieuw
Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut lebih bersifat
politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada
zaman itu.
Pada tahun 1940-an oleh Residen JP Van Eechoud pernah membentuk
sekolah Bestuur. Disana ia menganjurkan dan memerintahkan Admoprasojo selaku
Direktur Sekolah Bestuur tersebut untuk membentuk dewan suku-suku. Di dalam
kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua,
termasuk mengganti nama pulau Papua dengan sebuah nama yang mencerminkan budaya
Papua, dan nama tersebut harus digali dari bumi Papua.
Tindak lanjutnya, berlangsung pertemuan di Tobati, Jayapura. Di
dalam turut dibicarakan ide penggantian nama tersebut, juga dibentuk dalam
sebuah panitia yang nantinya akan bertugas untuk menelusuri sebuah nama yang
berasal dari daerah Papua dan dapat diterima oleh seluruh suku yang ada.
Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah
nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan
dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian.
Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, "an"
artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada
perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa
pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, "Iri"
artinya tanah, "an" artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa,
sementara dalam bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau
diangkat tinggi, "an" artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang
diangkat tinggi.
Secara resmi, pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisepo yang
mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui
pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama
Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian.
Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans
Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali
mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya
Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972,
hal. 107-108).
Selanjutnya, Pada 1 Desember 1961, Komite Nasional Papua,
disebut Nieuw Guinea Raad oleh Belanda, sebuah lembaga yang disponsori kerajaan
Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat,
dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora. Mereka
menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat.
Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA),
sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk menyiapkan act free choice di Papua
pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, West New Guinea/West Irian.
Beritkunya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi
sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini "dianeksasi" dari Kerajaan Belanda
ke dalam pangkuan Negara republik Indonesia. Pada tahun 1967, kontrak kerja
sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan. Dalam
kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, padahal secara resmi Papua belum
resmi jadi bagian Indonesia.
Setelah Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui
PEPERA 1969 yang dianggap penuh rekayasa oleh sebagian besar rakyat Papua,
perjuangan untuk tetap memisahkan diri dari Negara Indonesia untuk menjadi
Negara merdeka dan berdaulat terus suarakan.
Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem, pimpinan
Pemerintah Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria
menggunakan nama West Papua untuk Papua. Kehadiran organisasi ini tak begitu
lama karena berhasil di tumpas oleh pemerintah Indonesia melalui beberapa
operasi militer.
Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan
Nomor 5 tahun 1973 nama Irian barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto
menjadi nama Irian Jaya. Penggantian nama tersebut dilakukan bersamaan dengan peresmian
eksplorasi PT Freeport Indonesia yang pusat eksploitasinya dinamakan
Tembagapura.
Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian
nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan
sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden,
sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1
Januari 2000, dia memaklumkaan bahwa nama Irian Jaya saat itu diubah namanya
menjadi Papua seperti yang diberikan oleh Kerajaan Tidore pada tahun 1800-an.
Asal
usul nama
Perkembangan asal usul nama pulau Papua memiliki perjalanan yang
panjang seiring dengan sejarah interaksi antara bangsa-bangsa asing dengan
masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa lokal dalam memaknai nama
Papua.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah ini dikenal sebagai
Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch
New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun1969 hingga 1973.
Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada
saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara
resmi hingga tahun 2002.
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan nama provinsi ini untuk
diganti menjadi Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes
(penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi
oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi
Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang
menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Nama Papua Barat (West Papua) masih sering digunakan oleh Organisasi Papua
Merdeka (OPM), suatu
gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk
negara sendiri.
Penduduk asli di Papua
Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan
pola kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok
besar, yaitu Papua pegunungan atau pedalaman, dataran tinggi dan Papua dataran
rendah dan pesisir. Pola kepercayaan agama tradisional masyarakat Papua menyatu
dan menyerap ke segala aspek kehidupan, mereka memiliki suatu pandangan dunia
yang integral yang erat kaitannya satu sama lain antar dunia yang material dan
spiritual, yang sekuler dan sacral dan keduannya berfungsi bersama-sama.
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 25 suku, dengan bahasa
yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:
·
Ansus
·
Amungme
·
Asmat
·
Ayamaru,
mendiami daerah Sorong
·
Bauzi
·
Biak
·
Dani
·
Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken
·
Enggros
·
Fuyu
·
Hatam,
mendiami daerah Ransiki dan Oransbari
·
Iha
·
Kamoro
|
·
Korowai
·
Mee,
mendiami daerah pegunungan Paniai
·
Meyakh,
mendiami Kota Manokwari
·
Moskona,
mendiami daerah Merdei
·
Muyu
·
Nafri
·
Sentani, mendiami sekitar danau Sentani
·
Souk,
mendiami daerah Anggi dan Menyambouw
·
Tobati
·
Waropen
·
Wamesa
Beberapa penduduk masyarakat Papua Asli juga tersebar ke
beberapa daerah di Indonesia di antara Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, NTT
dan NTB. Beberapa di antara mereka juga melakukan perkawinan campur dengan
suku lain.
|
Senjata
tradisional
Pisau
belati Papua
Salah satu senjata tradisional di
Papua adalah Pisau Belati. Senjata ini
terbuat dari tulang kaki burung kasuari
dan bulunya menghiasi huluBelati tersebut. senjata utama penduduk asli
Papua lainnya adalah Busur dan Panah. Busur tersebut dari bambu atau kayu,
sedangkan tali Busur terbuat dari rotan. Anak panahnya terbuat dari bambu, kayu
atau tulang kangguru. Busur dan panah dipakai untuk berburu atau berperang.[9]
Makanan
khas Papua
Papeda
disajikan dengan kuah kuning danikan tude
bakar.
Papeda adalah makanan berupa bubur sagu khas Maluku dan
Papua yang biasanya disajikan dengan ikan tongkol atau
mubara yang dibumbui dengan kunyit.[10] Papeda
berwarna putih dan bertekstur lengket menyerupai lem dengan rasa yang tawar.[10] Papeda
merupakan makanan yang kaya serat, rendah kolesterol dan
cukup bernutrisi.[11]
Di berbagai wilayah pesisir dan dataran rendah di Papua, sagu
merupakan bahan dasar dalam berbagai makanan.[12] Sagu
bakar, sagu lempeng, dan sagu bola, menjadi sajian yang paling banyak dikenal
di berbagai pelosok Papua, khususnya dalam tradisi kuliner masyarakat adat di
Kabupaten Mappi, Asmat,
hingga Mimika.[12] Papeda
merupakan salah satu sajian khas sagu yang jarang ditemukan.[12] Antropolog sekaligus
Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben, menyatakan bahwa papeda
dikenal lebih luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani dan
Abrab di Danau Sentani dan Arso, serta Manokwari.[12]
Pada umumnya, papeda dikonsumsi bersama dengan ikan tongkol.[13] Namun,
papeda dapat juga dikombinasikan dengan ikan gabus, kakap merah, bubara, hingga ikan kue.[13] Selain
kuah kuning dan ikan, bubur papeda juga dapat dinikmati dengan sayur ganemo
yang diolah dari daun melinjo muda
yang ditumis dengan bunga pepaya muda dan cabai merah.[13]
Tifa
Alat musik
tifa
Tifa merupakan alat musik khas
Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku dan
Papua. Alat musik ini bentuknya menyerupai kendangdan terbuat dari kayu yang di lubangi
tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa
Jekir, Tifa
Dasar, Tifa
Potong,Tifa
Jekir Potong dan Tifa Bas.
Tifa mirip dengan alat musik gendang yang dimainkan dengan cara
dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau
dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya
penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara
yang bagus dan indah. Bentuknyapun biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku
di Maluku dan Papua memiliki tifa dengan ciri khas nya masing-masing.
Tifa biasanya digunakan untuk mengiringi tarian
perang dan beberapa
tarian daerah lainnya seperti tari Lenso dari
Maluku yang diiringi juga dengan alat musik totobuang,
tarian tradisional suku Asmat dan tari
Gatsi.
Alat musik tifa dari Maluku memiliki nama lain, seperti tahito
atau tihal yang digunakan di wilayah-wilayah Maluku Tengah. Sedangkan, di pulau
Aru, tifa memiliki nama lain yaitu titir. Jenisnya ada yang berbentuk seperti
drum dengan tongkat seperti yang digunakan di Masjid . Badan kerangkanya
terbuat dari kayu dilapisi rotan sebagai pengikatnya dan bentuknya berbeda-beda
berdasarkan daerah asalnya.
Taman
Nasional Lorentz
Taman Nasional
Lorentz adalah sebuah taman nasional yang terletak di provinsi Papua, Indonesia. Dengan luas wilayah sebesar 2,4
juta Ha; Lorentz merupakan taman nasional terbesar di Asia Tenggara.
Taman ini masih belum dipetakan, dijelajahi dan banyak terdapat
tanaman asli, hewan dan budaya. Pada 1999 taman nasional ini diterima sebagai Situs Warisan
Dunia UNESCO.
Wilayahnya juga terdapat persediaan mineral, dan operasi pertambangan
berskala besar juga aktif di sekitar taman nasional ini. Ada jugaProyek
Konservasi Taman Nasional Lorentz yang
terdiri dari sebuah inisiatif masyarakat untuk konservasi komunal dan ekologi
warisan yang berada di sekitar Taman Nasional Loretz ini.
Dari tahun 2003 hingga kini, WWF-Indonesia
Region Sahul Papua sedang melakukan pemetaan wilayah adat dalam kawasan Taman
Nasional Lorentz. Tahun 2003- 2006, WWF telah melakukan pemetaan di Wilayah
Taman Nasional Lorentz yang berada di Distrik (Kecamatan) Kurima Kabupaten
Yahukimo, dan Tahun 2006-2007 ini pemetaan dilakukan di Distrik Sawaerma
Kabupaten Asmat.
Komentar
Posting Komentar